Ujian Akhir
Semester
TA
2018/2019
Nama : M ZAINUL IRSAD D
NIM : 170321100035
Mata kuliah : Hukum Etika Bisnis
Program studi :
Agribisnis-B
KASUS 1
Kasus HAKI (Hak Kekayaan Intelektual) antara PT Delta
Merlin Dunia Tekstil (DMDT) dengan PT. Sritex Sukoharjo.
Kasus
pada
PT. Duniatex
berupaya untuk membatalkan hak cipta "Kode Benang Kuning" milik PT.
Sritex yang telah terdaftar sejak 15 Agustus 2011. PT. Sritex
mengklaim bahwa PT.
Duniatex melanggar hak cipta dengan telah memproduksi kain grey berpita kuning
hingga kasus itu dipersidangkan di Pengadilan Negeri Karanganyar sebagai
tindakan pidana beberapa waktu lalu.
Berdasarkan
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 PT. Sritex memiliki hak eksklusif, maksud dari hak eksklusif adalah hak
yang hanya diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang
boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya. Akan tetapi PT. Duniatex memproduksi
kain yang menggunakan kode benang kuning tanpa seizin pemegang hak ekslusif tersebut.
Pasal 5 Ayat (2) menjelelaskan
pada prinsipnya Hak Cipta
diperoleh bukan karena pendaftaran, tetapi dalam hal terjadi sengketa di
pengadilan, pendaftaran menjadi suatu alat bukti, yang dapat digunakan oleh
pihak-pihak yang berkepentingan untuk membuktikan apakah Hak Cipta tersebut
adalah benar ciptaannya dan hakim dapat menentukan Pencipta yang sebenarnya
berdasarkan pembuktian tersebut.
Pada kasus ini PT. Sritex sudah menciptakan dan
menggunakan kode benang kuning sejak 1976, sepanjang PT. Sritex dapat membuktikan
bahwa kode benang kuning tersebut adalah ciptaannya sejak 1976, maka permohonan
pendaftaran Hak Cipta tersebut ke Ditjen HKI pada tahun 2011 hanya sebatas
proses administrasi saja dan PT. Sritex berhak untuk keberatan dan/atau
melarang pihak lain menggunakan ciptaannya walaupn sebelum ciptaannya
didaftarkan ke Ditjen HKI.
Hal diatas sesuai dengan Pasal 35 ayat (4) Pendaftaran
Ciptaan bukan merupakan suatu keharusan bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta,
dan timbulnya perlindungan suatu Ciptaan dimulai sejak Ciptaan itu ada atau
terwujud dan bukan karena pendaftaran. Hal ini berarti suatu Ciptaan baik yang
terdaftar maupun tidak terdaftar tetap dilindungi.
Namun demikian perlu dilihat lagi definisi dari ciptaan
yang dilindungi, berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta, disebutkan bahwa ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang
ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Berdasarkan
Pasal tersebut apakah kode benang kuning merupakan suatu ciptaan yang dapat
dilindungi? garis lurus pada tepi kain seharusnya tidak dapat dikatagorikan
sebagai ciptaan yang dapat dilindungi, karena sebenarnya apabila dilihat
berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta suatu
ciptaan yang dapat dilindungi harus berupa suatu ilmu pengetahuan, seni dan
sastra.
Siapapun dapat membuat suatu garis di tepi kain dan hal
tersebut seharusnya tidak dapat diklaim sebagai ciptaan seseorang, namun
demikian apabila ciptaan tersebut telah terdaftar artinya Ditjen HKI
beranggapan kode benang kuning tersebut adalah suatu karya seni atau ciptaan
yang dapat dilindungi.
Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa PT. Duniatex telah
bersalah karena melanggar beberapa pasal mengenai HAKI dan dapat dikenakan
Pasal 72 ayat (1) tentang ketentuan pidana, yaitu Barangsiapa dengan sengaja
dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1
atau pasal 49 ayat 1 dan ayat 2 dipidana dengan pidana penjara masing-masing
paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00
(satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
KASUS 3
Kasus pelanggaran hak konsumen yang dilakukan oleh PT
Nissan Motor Indonesia terhadap Milla.
Pada
kasus ini Ludmilla Arief termasuk konsumen yang merasa dibohongi saat membeli
kendaraan roda empat merek Nissan March. Jargon ‘city car’ dan ‘irit’ telah
menarik minat Milla untuk membeli
Nissan March di showroom Nissan Warung Buncit, Jakarta Selatan. Hampir satu
bulan lebih Ludmilla menggunakan mobilnya tersebut, ia merasa di bohongi oleh
iklan yang ditayangkan ia mendengar bahwa mobilnya irit akan tetapi malah
mobilnya banyak menghabiskan bahan bakar tidak sesuai dengan iklan yang ada. Penasaran, Milla mencoba
menelusuri kebenaran pada iklan yang mengatakan irit itu. Bahkan iya sampai
menguji cobanya dan iya meyakini bahwa mobilnya memang menghabiskan banyak
bahan bakar.
Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2002 pasal 1 ayat 5 “
siaran iklan adalah siaran informasi yang bersifat komersial dan layanan
masyarakat tentang tersedianya jasa, barang, dan gagasan yang dapat
dimanfaatkan oleh khalayak dengan atau tanpa imbalan kepada lembaga penyiaran
yang bersangkutan”
Berdasarkan
iklan yang dipampang di media online detik dan Kompas, Nissan March
mengkonsumsi satu liter bensin untuk jarak bensin 21,8 km. Informasi serupa
terdapat di brosur Nissan March. Karena itulah Milla berkeyakinan membeli satu
unit untuk dipakai sehari-hari. “Di iklan itu ditulis berdasarkan hasil tes
majalah Autobild edisi 197 tanpa mencantumkan rute kombinasi”. Pihak Nissan
melakukan tiga kali pengujian setelah pemberitahuan Milla. Milla hanya ikut dua
kali proses pengujian. Lantaran tak mendapatkan hasil, Milla meminta dilakukan
tes langsung di jalan dengan mengikutsertakan saksi.
Kasus
ini akhirnya masuk ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Jakarta.
Milla meminta tanggung jawab PT Nissan Motor Indonsia (NMI). Putusan BPSK 16
Februari lalu menyatakan NMI melanggar Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10
huruf c Undang-Undang Perlindungan Konsumen. NMI diminta membatalkan transaksi,
dan karenanya mengembalikan uang pembelian Rp150 juta.
Keputusan
tersebut sesuai dengan pasal 4 huruf h Hak dan Kewajiban Konsumen yakni “ hak
untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya. Memang penegakan akan pentingnya perlindungan konsumen
perlu ditingkatkan agar tidak semakin banyak merugikan orang.
KASUS 5
Kasus
kepailitan bisnis produsen teh PT. Sariwangi Agricultural Agency (Sariwangi
A.E.A)
Pada
kasus ini PT Sariwangi Agricultural Estate Agency divonis pailit oleh majelis
hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
pada(16/10). Vonis pailit perusahaan tersebut dikarenakan merk teh celup
SariWangi pada 1973 itu tak lain karena PT Sariwangi AEA tak mampu membayar
utang senilai Rp 288,9 miliar kepada Bank Industrial and Commercial Bank of
China (ICBC) Indonesia. Berdasarkan
beberapa referensi yang dikutip , PT Sariwangi AEA pada 2013 dan 2014 melakukan
beberapa investasi yang salah satunya di pasar modal. Seperti lazimnya
investasi, selain berasal dari kas perusahaan, PT Sariwangi AEA juga mengajukan
pinjaman atau kredit kepada beberapa pihak termasuk perbankan.
Menurut
catatan Bank ICBC, PT Sariwangi AEA memiliki utang plus bunga Rp 288,9 miliar.
Namun di luar utang terhadap Bank ICBC itu, PT Sariwangi AEA itu juga memiliki
utang lain kepada beberapa pihak yang totalnya mencapai Rp 1,05 triliun. Total utang Rp 1,05 triliun
itu terdiri dari pinjaman dari lima kreditur separatis (dengan jaminan) sebesar
Rp 719,03 miliar, 59 kreditur konkuren (tanpa jaminan) Rp 334,18 miliar, dan
kreditur preferen (prioritas) Rp 1,21 miliar.
Tidak
jelas alasan mengapa perusahaan pelopor teh celup di Indonesia itu tidak
membayar utangnya. Tetapi pada tahun 2015 lalu, sebenarnya PT Sariwangi AEA
pernah digugat pailit oleh beberapa kreditur (pemberi utang) di Pengadilan
Niaga Jakarta Pusat. Namun
PT Sariwangi AEA sebagai debitur (pihak yang diberi utang) berdamai
(homologasi) dengan para kreditur -salah satunya Bank ICBC- melalui putusan
penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) pada Oktober 2015.
Bank
ICBC memiliki perjanjian dengan PT Sariwangi AEA untuk mencicil pembayaran
utang plus bunga selama enam tahun setelah masa tenggang (2 tahun)
pasca-homologasi. Dalam artian, PT Sariwangi harus memulai pembayaran utang
kepada Bank ICBC mulai Oktober 2017 hingga enam tahun setelahnya. Akibat tak kunjung membayar
utangnya sesuai perjanjian, Bank ICBC kembali menggugat PT Sariwangi AEA ke
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada pertengahan 2018. Dalam gugatannya, Bank
ICBC meminta pembatalan perjanjian damai (homologasi) antara pihak bank asal
China itu dengan PT Sariwangi AEA.
Dalam
putusannya, majelis hakim mengabulkan gugatan Bank ICBC dan menyatakan PT
Sariwangi AEA pailit. Hal ini sesuai dengan pasal 1267 KUH Perdata yang
berbunyi “ pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih:
memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat
dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya,
kerugian dan bunga”.
Tak hanya PT Sariwangi AEA, majelis hakim juga memutus pailit PT Maskapai
Perkebunan Indorub Sumber Wadung juga karena tak mampu membayar utang Rp 33,82
miliar kepada Bank ICBC.




