Rabu, 19 Juni 2019

Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Hukum Etika Bisnis

10.14 Posted by irsadjamm 2 comments

Ujian Akhir Semester
TA 2018/2019
Nama                : M ZAINUL IRSAD D
NIM                   : 170321100035
Mata kuliah      : Hukum Etika Bisnis
Program studi : Agribisnis-B

KASUS 1
Kasus HAKI (Hak Kekayaan Intelektual) antara PT Delta Merlin Dunia Tekstil (DMDT) dengan PT. Sritex Sukoharjo.
Kasus pada PT. Duniatex berupaya untuk membatalkan hak cipta "Kode Benang Kuning" milik PT. Sritex yang telah terdaftar sejak 15 Agustus 2011. PT. Sritex mengklaim bahwa PT. Duniatex melanggar hak cipta dengan telah memproduksi kain grey berpita kuning hingga kasus itu dipersidangkan di Pengadilan Negeri Karanganyar sebagai tindakan pidana beberapa waktu lalu.
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 PT. Sritex memiliki hak eksklusif, maksud dari hak eksklusif adalah hak yang hanya diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya. Akan tetapi PT. Duniatex memproduksi kain yang menggunakan kode benang kuning tanpa seizin pemegang hak ekslusif tersebut.
Pasal 5 Ayat (2) menjelelaskan pada prinsipnya Hak Cipta diperoleh bukan karena pendaftaran, tetapi dalam hal terjadi sengketa di pengadilan, pendaftaran menjadi suatu alat bukti, yang dapat digunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk membuktikan apakah Hak Cipta tersebut adalah benar ciptaannya dan hakim dapat menentukan Pencipta yang sebenarnya berdasarkan pembuktian tersebut.
Pada kasus ini PT. Sritex sudah menciptakan dan menggunakan kode benang kuning sejak 1976, sepanjang PT. Sritex dapat membuktikan bahwa kode benang kuning tersebut adalah ciptaannya sejak 1976, maka permohonan pendaftaran Hak Cipta tersebut ke Ditjen HKI pada tahun 2011 hanya sebatas proses administrasi saja dan PT. Sritex berhak untuk keberatan dan/atau melarang pihak lain menggunakan ciptaannya walaupn sebelum ciptaannya didaftarkan ke Ditjen HKI.
Hal diatas sesuai dengan Pasal 35 ayat (4) Pendaftaran Ciptaan bukan merupakan suatu keharusan bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta, dan timbulnya perlindungan suatu Ciptaan dimulai sejak Ciptaan itu ada atau terwujud dan bukan karena pendaftaran. Hal ini berarti suatu Ciptaan baik yang terdaftar maupun tidak terdaftar tetap dilindungi.
Namun demikian perlu dilihat lagi definisi dari ciptaan yang dilindungi, berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, disebutkan bahwa ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Berdasarkan Pasal tersebut apakah kode benang kuning merupakan suatu ciptaan yang dapat dilindungi? garis lurus pada tepi kain seharusnya tidak dapat dikatagorikan sebagai ciptaan yang dapat dilindungi, karena sebenarnya apabila dilihat berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta suatu ciptaan yang dapat dilindungi harus berupa suatu ilmu pengetahuan, seni dan sastra.
Siapapun dapat membuat suatu garis di tepi kain dan hal tersebut seharusnya tidak dapat diklaim sebagai ciptaan seseorang, namun demikian apabila ciptaan tersebut telah terdaftar artinya Ditjen HKI beranggapan kode benang kuning tersebut adalah suatu karya seni atau ciptaan yang dapat dilindungi.
Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa PT. Duniatex telah bersalah karena melanggar beberapa pasal mengenai HAKI dan dapat dikenakan Pasal 72 ayat (1) tentang ketentuan pidana, yaitu Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 atau pasal 49 ayat 1 dan ayat 2 dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

KASUS 3
Kasus pelanggaran hak konsumen yang dilakukan oleh PT Nissan Motor Indonesia terhadap Milla.
Pada kasus ini Ludmilla Arief termasuk konsumen yang merasa dibohongi saat membeli kendaraan roda empat merek Nissan March. Jargon ‘city car’ dan ‘irit’ telah menarik minat Milla untuk membeli Nissan March di showroom Nissan Warung Buncit, Jakarta Selatan. Hampir satu bulan lebih Ludmilla menggunakan mobilnya tersebut, ia merasa di bohongi oleh iklan yang ditayangkan ia mendengar bahwa mobilnya irit akan tetapi malah mobilnya banyak menghabiskan bahan bakar tidak sesuai dengan iklan yang ada. Penasaran, Milla mencoba menelusuri kebenaran pada iklan yang mengatakan irit itu. Bahkan iya sampai menguji cobanya dan iya meyakini bahwa mobilnya memang menghabiskan banyak bahan bakar.
Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2002 pasal 1 ayat 5 “ siaran iklan adalah siaran informasi yang bersifat komersial dan layanan masyarakat tentang tersedianya jasa, barang, dan gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh khalayak dengan atau tanpa imbalan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan”
Berdasarkan iklan yang dipampang di media online detik dan Kompas, Nissan March mengkonsumsi satu liter bensin untuk jarak bensin 21,8 km. Informasi serupa terdapat di brosur Nissan March. Karena itulah Milla berkeyakinan membeli satu unit untuk dipakai sehari-hari. “Di iklan itu ditulis berdasarkan hasil tes majalah Autobild edisi 197 tanpa mencantumkan rute kombinasi”. Pihak Nissan melakukan tiga kali pengujian setelah pemberitahuan Milla. Milla hanya ikut dua kali proses pengujian. Lantaran tak mendapatkan hasil, Milla meminta dilakukan tes langsung di jalan dengan mengikutsertakan saksi.
Kasus ini akhirnya masuk ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Jakarta. Milla meminta tanggung jawab PT Nissan Motor Indonsia (NMI). Putusan BPSK 16 Februari lalu menyatakan NMI melanggar Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-Undang Perlindungan Konsumen. NMI diminta membatalkan transaksi, dan karenanya mengembalikan uang pembelian Rp150 juta.
Keputusan tersebut sesuai dengan pasal 4 huruf h Hak dan Kewajiban Konsumen yakni “ hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Memang penegakan akan pentingnya perlindungan konsumen perlu ditingkatkan agar tidak semakin banyak merugikan orang.
KASUS 5
Kasus kepailitan bisnis produsen teh PT. Sariwangi Agricultural Agency (Sariwangi A.E.A)
Pada kasus ini PT Sariwangi Agricultural Estate Agency divonis pailit oleh majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat  pada(16/10). Vonis pailit perusahaan tersebut dikarenakan merk teh celup SariWangi pada 1973 itu tak lain karena PT Sariwangi AEA tak mampu membayar utang senilai Rp 288,9 miliar kepada Bank Industrial and Commercial Bank of China (ICBC) Indonesia. Berdasarkan beberapa referensi yang dikutip , PT Sariwangi AEA pada 2013 dan 2014 melakukan beberapa investasi yang salah satunya di pasar modal. Seperti lazimnya investasi, selain berasal dari kas perusahaan, PT Sariwangi AEA juga mengajukan pinjaman atau kredit kepada beberapa pihak termasuk perbankan.
Menurut catatan Bank ICBC, PT Sariwangi AEA memiliki utang plus bunga Rp 288,9 miliar. Namun di luar utang terhadap Bank ICBC itu, PT Sariwangi AEA itu juga memiliki utang lain kepada beberapa pihak yang totalnya mencapai Rp 1,05 triliun. Total utang Rp 1,05 triliun itu terdiri dari pinjaman dari lima kreditur separatis (dengan jaminan) sebesar Rp 719,03 miliar, 59 kreditur konkuren (tanpa jaminan) Rp 334,18 miliar, dan kreditur preferen (prioritas) Rp 1,21 miliar.
Tidak jelas alasan mengapa perusahaan pelopor teh celup di Indonesia itu tidak membayar utangnya. Tetapi pada tahun 2015 lalu, sebenarnya PT Sariwangi AEA pernah digugat pailit oleh beberapa kreditur (pemberi utang) di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Namun PT Sariwangi AEA sebagai debitur (pihak yang diberi utang) berdamai (homologasi) dengan para kreditur -salah satunya Bank ICBC- melalui putusan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) pada Oktober 2015.
Bank ICBC memiliki perjanjian dengan PT Sariwangi AEA untuk mencicil pembayaran utang plus bunga selama enam tahun setelah masa tenggang (2 tahun) pasca-homologasi. Dalam artian, PT Sariwangi harus memulai pembayaran utang kepada Bank ICBC mulai Oktober 2017 hingga enam tahun setelahnya. Akibat tak kunjung membayar utangnya sesuai perjanjian, Bank ICBC kembali menggugat PT Sariwangi AEA ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada pertengahan 2018. Dalam gugatannya, Bank ICBC meminta pembatalan perjanjian damai (homologasi) antara pihak bank asal China itu dengan PT Sariwangi AEA.
Dalam putusannya, majelis hakim mengabulkan gugatan Bank ICBC dan menyatakan PT Sariwangi AEA pailit. Hal ini sesuai dengan pasal 1267 KUH Perdata yang berbunyi “ pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih: memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga”. Tak hanya PT Sariwangi AEA, majelis hakim juga memutus pailit PT Maskapai Perkebunan Indorub Sumber Wadung juga karena tak mampu membayar utang Rp 33,82 miliar kepada Bank ICBC.